5 Korban Jiwa Diklat Sar Mendidik atau Menyakiti?

Mendidik atau Menyakiti? Diklat Sar Menelan Korban Jiwa

https://detik-alam.blogspot.co.id/
Diklat Sar

Diklatsar atau diksar Tentunya sudah terbiasa terdengar di telinga kita, Masih banyak kalangan yang menganggap bahwa diklatsar merupakan sebuah kegiatan yang sangat menyeramkan dan membahayakan. Khususnya di kalangan penggiat kegiatan alam bebas. Hal itu tidak bisa dipungkiri karena memang faktanya pernah terjadi hal “buruk” saat diklatsar hingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Tak tahu salah siapa dan siapa yang patut disalahkan.


TEGAS BUKAN BERARTI KERAS!!

Sesuatu yang awalnya diniatkan untuk tujuan baik, untuk mendapat manfaat yang positif malah akhirnya justru mengorbankan diri sendiri di kearenakan kecerobohan yang tak pantas, miris bukan.
Tapi yang menjadi pertanyaannya sebagian orang pentingkah diklat sar? Perlu kah?

Masih ingat, baru-baru ini ramai dengan berita meninggalnya 3 mahasiswa UII yang mengikuti diklat sar di Gunung Lawu. Dari kejadian tersebut didapat sebuah cerita bahwa hal yang menyebabkan kematian ketiga korban tersebut adalah seperti hasil dari sebuah penyiksaan entah itu benar atau tidak. selain itu pernah terjadi siswa diklatsar salah satu mapala di Semarang meninggal dunia saat kegiatan diklatsar di Gunung Ungaran. Atau sebuah Sispala di Jakarta juga pernah terjadi salah satu peserta diklatsar meninggal dunia karena tindak kekerasan seniornya. Dan masih ada lagi kasus-kasus lainnya.

Entahlah, apa itu kejadian sebenarnya, tapi disini yang  patut digaris bawahi separah itu kah diklat sar? sesadis itukah? atau sekeras itu kah?

Apakah memang caranya mendidik seperti itu dan Apa memang caranya untuk membentuk mental dan karakter yang kuat memang seperti itu? 

Lalu apakah yang diperlukan hanya mental yang kuat saja, lalu apakah pembentukan sikap toleransi dan peduli itu tidak dibutuhkan?
Bukankah menjadi pribadi yang lebih baik, bermental dan berkarakter yang kokoh, bijak dan peduli  terhadap lingkungan dan sesama itulah tujuannya.
Lalu dengan kekerasan tanpa memperhatikan kepedulian terhadap sesama itu bisa dibilang tujuan diklat sar.

Diklat sar di kampus atau sekolah tentu saja sangat positif, tapi jika dilakukan dengan niat dan juga tujuan positif. Lalu jika hanya berazazkan senioritas dan hanya tindakan semena-mena untuk mengerjai junior apakah itu layak disebut sebagai diklat?

Mendidik, menempa seseorang memang diperlukan ketegasan, tapi jika tidak memperhatikan rasa kemanusiaan sama halnya dengan menjajah.
Sama halnya dengan menyengsarakan orang lain.

Saya pun juga pernah menemui hal yang saya rasa itu berlebihan, apa lagi itu dilakukan di alam bebas. Bayangkan saja, orang yang mempunyai perbekalan lengkap, bisa jalan sesuka hatinya tanpa harus disuruh-suruh saja terkadang juga banyak yang menjadi korban. 

Lalu sekarang bayangkan jika di atas gunung, seseorang yang harusnya cukup makan dan minum, bisa istirahat sewaktu-waktu jika merasa lelah, tapi harus disuruh-suruh membawa barang yang terlampau berat, membawakan barang bawaan senior, kemudian hanya dikasih jatah makan dan minuman yang sedikit dan sangat terbatas, kemudian tidak boleh istirahat dan mengeluh, belum lagi terus dimarah-marahi. 

Sementara itu seniornya enak-enakan berjalan dibelakangnya sambil bercanda tawa, makan dan minum sesuka hatinya, belum lagi tidak membawa apapun.

Yang masih saya ingat sampai sekarang bagaimana raut wajah mereka, begitu lelah dan serasa menderita.

Lantas dimana rasa kasihan kalian? Apakah hal seperti itu sebuah rutinitas setiap tahun yang hanya sebagai ajang pelampiasan karena dulu juga pernah diperlakukan seperti itu?

Jika akhirnya hanya membuat orang celaka dan sampai mengorbankan nyawa orang lain, siapa yang mau bertanggung jawab?

Lalu masih perlukah dilakukan diklat sar? Apakah memang diklat adalah pilihan satu-satunya?

Kita semua sangatlah setuju bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Pengalaman dapat lebih menunjukkan identitas dan karakter kita dalam bertindak. Tidak heran jika nantinya mereka akan tumbuh dengan daya juang tinggi dan respon tubuh lebih baik saat kondisi yang tidak diinginkan datang. 

Diksar adalah ujian awal yang akan dihadapi, namun tidak mutlak harus dilalui dan lulus. Hal itu dikarenakan banyak orang yang tidak memiliki latar belakang pendaki gunung/ atau pecinta alam atau orang yang tidak melalui diklat sar, namun lebih bisa mengkondisikan dirinya dalam berbagai situasi, bisa mengambil keputusan dengan bijaksana.

Dan justru banyak dari mereka yang lulus dan mengikuti diklat sar dengan kebanggan akan lencana yang dipakai, tapi justru tidak bisa menolong dirinya sendiri dan bahkan malah menjadi benalu buat orang lain.

Diksar hanyalah sebuah pembelajaran, namun untuk output atau hasil yang didapat tergantung dari pribadi masing-masing. Sekeras apapun kamu mengajarkan, tapi jika pribadinya tidak bisa, maka hanya akan sia-sia.

Cara antisipasi hal buruk saat diklat sar
  • Melihat Kemampuan Fisik Siswa
  • Faktor Kondisi Alam
  • Faktor Pendidik dan Materi Pendidikan (Harus sesuai dengan kurikulum)
  • Faktor Non Teknis


Meskipun tanpa diksar namun jika seseorang bisa mengetahui dan mampu mengendalikan dirinya sendiri, maka justru akan lebih bermanfaat dan bisa menjadi lebih baik.

Intinya semua kembali pada niat dan pribadi masing-masing. Selalu pertimbangkan akal sehar, bukan hanya sekedar menuruti hawa nafsu saja.

Sekarang yang menjadi kesimpulannya
  1. Masih perlukah diadakannya diklat sar? 
  2. Masih harus ada korban yang tidak diinginkan lagi?


jawabannya: sangat penting. Jika ada kekhawatiran mengenai hal-hal buruk yang akan terjadi saat diklatsar, maka sebaiknya yang diperbaiki adalah sistem dan kurikulumnya. Bukan menghilangkan kegiatan diklatsarnya atau bahkan menghapuskan organisasinya.

Semoga tidak ada lagi kejadian seperti ini yang akhirnya harus menelan korban jiwa. Karena diklat sar sangat diperlukan dan semoga diadakan dengan lebih baik lagi, tanpa harus menyakiti orang lain.



Comments

Post a Comment